Nama : Rizka Zulfani Syahrir
NPM: 56416552
NPM: 56416552
DIGITAL CINEMA
Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga
pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan
sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika
digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu
digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna.
Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20,
hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini
merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi
sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar
secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah
mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur
cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam
jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an
ditemukan teknologi laser disc, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD.
Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga
semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat
dengan keserarian masyarakat modern.
Sebelum ditemukannya kamera digital, para filmmaker menggunakan
kamera seluloid sebagai medium untuk memvisualisasikan skenarionya. Kamera film
(begitu tipe kamera ini banyak disebut) merupakan kamera yang menggunakan bahan
dasar (pita) seluloid berukuran 8mm, 16mm, 35mm, dan 70mm yang disesuaikan
dengan tipe kamera itu sendiri. Kebanyakan filmmakermenggunakan
kamera 35mm karena ukuran tersebut menghasilkan gambar yang pas untuk konsumsi
layar lebar. Sayangnya, kamera film dibanderol mahal, harga sewanya pun sangat
tinggi. Hal tersebut kerap membatasi para filmmaker dengan
bujet yang minim untuk memproduksi film.
(Super 8 Camera)
Kemunculan kamera digital di akhir tahun 1980-an yang
digagas oleh Sony lewat perlengkapan kamera Sony HDVS-nya (awalnya ditujukan
untuk keperluan broadcast televisi) membuat filmmaker mempunyai
pilihan untuk mengambil gambar dengan biaya yang lebih murah. Meski begitu,
para pembuat film lebih banyak setia dengan kamera film karena gambar yang
dihasilkan jauh lebih baik. Seiring perkembangan zaman, teknologi digital
semakin maju dan kini kualitas kamera digital bahkan dapat menyamai kamera film
seluloid. Hal ini berimbas dengan banyaknya filmmaker dunia
yang memilih untuk menggunakan kamera digital dibandingkan seluloid, tak
terkecuali Hollywood.
Penggunaan kamera digital dalam industri film Hollywood
dipelopori oleh George Lucas yang mengembangkan kamera Sony HDW-F900 yang
digunakan pada Once Upon Time in Mexico (2001). Film garapan
Robert Rodriguez tersebut dikenal sebagai film pertama yang seluruh gambarnya
diambil dengan kamera digital berformat 24 fps. Satu tahun kemudian, Lucas menggunakan
kamera yang sama untuk filmnya, Star Wars Episode II: Attack of the
Clones. Tahun 2009 bisa dikatakan sebagai momen penting bagi perkembangan
kamera digital di industri film dunia. Pada tahun tersebut, Slumdog
Millionaire menjadi film pertama berformat digital yang mendapatkan
penghargaan Best Cinematography di ajang bergengsi Academy
Awards, disusul oleh dirilisnya Avatar yang hingga saat ini
menjadi film berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para sistem
sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor digital dan
meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang dikenal dengan
nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film digital dengan
resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960 atau 8.8
megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid,
namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive yang
nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan
menayangkan filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood
membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi
ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar
tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh.
Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers
(SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka
ditentukan standar atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk
menyiapkan master materi film, sistem distribusi.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi
seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat
perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak
(meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker
dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah
memegang peranan penting dalam industri film dunia.nya, sampai ke urusan
perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus
untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop
digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan
DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara
pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Komentar
Posting Komentar